Memikirkan berhenti kerja untuk jalan-jalan adalah satu hal. Hal lainnya adalah benar-benar melakukannya dan merencanakan keliling dunia, menjelajah benua, satu demi satu.
Dan hal lainnya lagi adalah membawa istri, dua anak berusia sembilan dan empat tahun dengan Land Rover Defender 130 keluaran tahun 2003 yang sudah dipermak sendiri, sampai uang habis.
Itulah yang dilakukan Graeme Bell, 41 tahun, dan istrinya Luisa, 40 tahun, bersama dua anaknya, Keelan dan Jessica pada tahun 2009 setelah ayah Luisa yang suka berpetualang meninggal dunia.

Mereka menyadari tak ada yang kekal di dunia, dan memutuskan: sekarang atau tidak akan pernah.
Tujuh tahun kemudian mereka sudah menelusuri 160.000 km berkeliling 30 negara dan berupaya hidup dengan biaya Rp760.000 per hari.

“Kami dalam kondisi terbaik, ketika melakukan perjalanan,” kata Graeme yang menyebut keluarganya sebagai “nomaden jangka panjang” yang lebih suka perjalanannya dibanding tujuan sebenarnya.
Keluarga Bell dari Cape Town, Afrika Selatan, pertama-tama melakukan uji coba dengan menjadi nomaden di mobil Land Rover Defender yang mereka sebut Landy.
Perjalanan jauh –yang sering disebut dengan istilah overlanding– memerlukan riset tentang kendaraan yang akan dipakai.
Setelah mempertimbangkan Toyota Land Cruisers, Nissan Patrols, dan Unimog, Keluarga Bells akhirnya memutuskan untuk meggunakan Land Rover Defender 130.

Di halaman belakang rumahnya, Graeme memasang atap aluminium sebelum memulai perjalanan pertama ke Gunung Kilimanjaro di Tanzania dan pulang kembali. Jarak perjalanan bolak-balik itu sekitar 12.000 km.
Untuk perjalanan kedua, mereka mengirim Landy dengan kapal laut menyeberang Atlantik guna menjelajah Amerika Selatan.
Ketika BBC berkomunikasi lewat Skype dengan Graeme dan Luisa, mereka sedang berada di Los Cabos di Baja California, Meksiko.
Tujuan berikut adalah ke utara menuju Ekspo Overland di Flagstaff, Arizona. Di sana mereka bergabung dengan para penjelajah mobil lainnya untuk membahas hidup di jalanan.

Selain itu mereka juga akan mempromosikan buku pertama Graeme, We Will Be Free, dan menggalang dana untuk penulisan buku kedua, Travel the Planet Overland dengan menggunakan situs internet Kickstarter.
Buku itu akan memaparkan secara rinci penjelajah jalanan dan bagaimana cara melakukannya.
“Cukup banyak keluarga seperti kami yang menjelajah dan jumlahnya tampaknya bertambah,” kata Luisa.
“Orang Prancis cenderung melakukannya selama setahun saat mengambil cuti sabatikal, namun ada masalah tentang belajar di luar sekolah, yang tergolong melanggar hukum di beberapa negara.”

Hari-hari di dalam Landy adalah petualangan yang tidak berhenti dan pendidikan yang dewasa, pengalaman budaya serta perubahan cuaca dan pemandangan yang drastis. Hidup berubah secara dramastis bagi keempatnya.
Mereka masih tetap suami, istri, ayah, ibu, putra, putri, dan saudara namun mereka juga fotografer, koki, mekanik, dan pekerja rumah tangga yang disiplin,
Seperti yang diduga, tujuh tahun menjelajah akan menguras dana. Namun dana awal yang tidak cukup banyak, membuat mereka menjadi harus kreatif.

“Kami benar-benar di luar rasa nyaman dan tidak tahu yang ada di depan kami selain yang sudah kami lewati,” tutur Graeme.
Keterampilan tangan keluarga menjadi penting. Mereka memperbaiki sendiri poros roda yang rusak di tengah malam di sebuah tempat di Brasil. Begitu juga ketika mobil mereka rusak di pinggir jalan di Guyana atau terdampar di Argentina karena alat pompa bensin ke mesin rusak, untungnya kerusakan itu di lokasi perkemahan yang tidak jauh dari kolam renang dan penjual daging.

Mereka juga berhasil memperbaiki alat pendingin mesin yang rusak di Gurun Atacama, Cile, atau penutup radiator yang rusak di Peru.
“Kami lebih suka untuk melakukannya sendiri daripada berkonvoi,” jelas Graeme.
Hilang sudah karier Graeme dan Luisa di bidang pemasaran, juga gemilau perusahaan di masa lalu.
Begitu pula dengan pendidikan di sekolah negeri, maupun gangguan-gangguan yang harus dihadapi Keelan dan Jessica dari kawan-kawan sekolah. Kedua anak itu berkembang menjadi anak yang memiliki keyakinan kuat.

Melintasi Taman Nasional Lençóis Maranhenses di Brasil pada tahun 2014.
Waktu berada di sebuah perkampungan pertanian di Brasil, Keelan dan Jessica sempat kembali masuk sekolah.
“Mereka anak yang pemalu waktu di Afrika Selatan. Keelan banyak diganggu kawan-kawannya sehingga percaya dirinya amat rendah,” jelas Graeme
“Di Brasil mereka berjalan ke sekolah dengan kepala tegak. Mereka tidak butuh kami berdua. Kami berada di sebuah kampung kecil yang tak satu pun orangnya berbahasa Inggris namun hanya beberapa pekan saja komunikasi sudah berjalan baik.”

Kini Keelan berusia 17 tahun dan ketertarikan kepada perempuan memiliki peluang untuk mengganggu dinamika keluarga.
“Sekitar setahun lalu, kami di Salta, Argentina, ketika ada masalah pada alat pompa bensin ke mesin jadi kami tinggal di perkemahan dan Keelan bertemu dengan seorang anak perempuan,” kenang Luisa.
“Tiga jam setelah kami meninggalkan tempat itu, dia memutuskan, ‘Cukup! Minta paspor dan sepedaku! Aku mau kembali dan bekerja di sana.’ Itu hal yang berat. Dia masih muda dan kami tidak cukup lama berada di sebuah tempat agar dia bisa menjalin hubungan, jadinya amat berat.”

Adapun Jessica masih berusia 11 tahun dan masih tenang-tenang saja. Graeme setengah bercanda menjelaskan peraturan ‘tidak boleh pacaran sampai umur 20 tahun.’
“Saya ingin bersama mereka selama mungkin mereka mau dan kami akan mengakomodasinya,” kata Graeme yang punya rencana untuk berkeliling dunia dan kemudian kembali lagi berlawanan arah.

Tapi bagaimana keluarga ini menghadapi iklim politik yang berbeda-beda di negara yang mereka lintasi?
“Kami punya sistem untuk menghadapi para birokrat,” kata Graeme. “Tetap tenang, bekerja sama, dan jangan melawan. Kalaupun sampai pada titik ingin membunuhnya: tetap tersenyum, ‘jilat pantat’-nya, dan bersimpati.”
Sistem itu berguna ketika keluarga Bell menjelajahi Guyana yang dikuasai Prancis dan melintasi Kolombia dengan melewati kantong-kantong pasir pelindung dan tentara bersenapan mesin.

Di perbatasan Kolombia dengan Venezuela, polisi mengawal mereka hingga tiba di sebuah lokasi perkemahan yang aman dan bukan tempat yang awalnya mereka rencanakan di dekat kantor polisi karena ada informasi intelijen bahwa tempat itu mungkin akan diserang.
“Di Venezuela kami latihan untuk menghadapi semua skenario, bagaimana kami tetap aman jika ada senjata api di atas kepala kami,” tutur Graeme. Dia menambahkan mereka pernah menelusuri sebuah jalan yang menjadi tempat dibunuhnya satu keluarga beberapa pekan sebelumnya.

Tapi justru berkemah di Amerika Serikat yang paling membuat Graeme takut.
“Berkemah di kawasan Pacific Northwest membuat saya takut karena tempat itu menjadi lokasi dari film-film horror yang saya tonton dulu di Afrika Selatan setelah masa apartheid di TV, ketika hanya ada budaya populer Amerika Serikat,” jelas Graeme.
“Saya takut jika ada seorang pria datang dengan gunting taman yang besar atau sesuatu. Di Boulder, Colorado, di Taman Nasional Rocky Mountain, kami melihat seorang warga Texas berjalan-jalan dengan satu lagu cinta yang sama berulang-ulang sepanjang malam sambil membawa kampak. Di lain waktu kami bertemu seorang pria yang menceritakan tentang putranya yang menderita sakit mental dan hilang ke dalam hutan dengan membawa pedang Samurai selama beberapa pekan. Saya menjadi paranoid.”

Jadi petualangan dengan mobil tidak selalu seperti kisah Indiana Jones atau keluarga Robinson yang saling berhubungan erat.
“Susah untuk mendapatkan privasi,” kata Graeme, “Kami tidur dalam satu tenda dan putra saya sekarang tingginya 1,9 meter dengan berat 99 kg.”
Mereka juga ingin sofa dengan busa yang baru. “Duduk di kursi kemah selama empat tahun juga membuat pantat sakit,” kata Graeme.
Yang mereka rindukan adalah rutinitas dan televisi walau dalam petualangan panjang yang membosankan ini, anak-anak bisa menonton seri TV Cheers dan Seinfeld yang sudah diunduh saat Landy menelusuri hutan, gurun pasir, dan kawasan konflik bersenjata.
Dan tentu saja mereka juga rindu keluarga. Bahkan sampai sekarang, Keluarga Bell masih kagum dengan orang-orang yang berpendapat bahwa petualangan mereka adalah sebuah liburan panjang.
“Ibu saya sangat bangga, namun harus melewati semua gelombang emosi dan akhirnya mengatakan, ‘Sudah cukup! Kapan kalian akan pulang ke rumah?” kata Luisa.
“Jadi saya berupaya untuk pulang setiap dua tahun sekali selama sebulan. Sepertinya hal itu bisa menyenangkan semua orang.”
Tinggalkan Balasan